Ramadan dan Maknanya yang Bergeser

“Marhaban Ya Ramadan, Marhaban Iklan Sirup Marjan”

Sebuah ungkapan yang sangat tepat untuk menggambarkan apa yang akan saya bahas di NulisLetter edisi kali ini, sekaligus saya ingin menyampaikan ucapan selamat menjalankan ibadah Ramadan untuk kalian yang menjalankan.

Btw, kalian sudah lihat video tentang pembahasan iklan Marjan yang saya buat? Kalau belum, kalian bisa lihat di sini ya.

Kalau ada satu bulan di kalender Hijriah yang paling populer dibandingkan dengan bulan lainnya, bulan tersebut pasti lah Ramadan.

Bulan spesial bagi umat Islam untuk meraih berbagai keutamaan. Kebaikan yang diganjar pahala hingga berlipat ganda. Bulan yang penuh rahmat, ampunan serta pembebasan dari api neraka, hingga Lailatul Qadar yang merupakan malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Bulan Ramadan adalah tentang memberi makan orang yang berpuasa, menyantuni anak yatim serta menghabiskan sepertiga akhir malam dengan I’tikaf.

Intinya, Ramadan adalah bulan yang identik dengan berbagai aktivitas keagamaan. Ini adalah sisi Ramadan yang sebenarnya dan mungkin juga seharusnya, karena Ia memang lahir dari tradisi agama.

Sekarang, mari kita lihat sisi lainnya.

Ramadan adalah bulan di mana kita akhirnya bertemu dengan teman-teman lama yang lama tidak berjumpa, di mana pegawai ditraktir makan besar oleh kantornya. Sebuah aktivitas yang bisa terjadi karena sebuah evet Ramadan yang bernama “Bukber” alias Buka Bersama”

Ramadan adalah tentang diskon dan menggunungnya botol sirup dan kaleng biskuit di mini market dekat rumah kita. Ramadan adalah membludaknya mal di jam waktu berbuka puasa.

Ramadan adalah acara spesial dan kuis berhadiah di waktu sahur.

Ramadan adalah meningkatnya biaya iklan di jam prime time dan sibuknya brand, creative dan media agency dalam mempersiapkan materi iklannya.

Dua sisi Ramadan yang berbeda. Tradisi keagamaan yang dibungkus oleh kemeriahan.

Tulisan ini jelas tidak untuk mengkritisi makna tradisi Ramadan yang telah jauh bergeser dari esensinya, karena saya pun tidak mempunyai kapasitas untuk itu. Saya lebih tertarik untuk membahas kenapa pergeseran makna ini bisa terjadi. Setidaknya dilihat dari perspektif saya sebagai praktisi kreatif dan komunikasi.

Memasuki masa sebulan atau dua bulan sebelum Ramadan, Agency komunikasi dan periklanan yang menangani berbagai macam brand biasanya sudah disibukkan dengan persiapan campaign untuk Ramadan. Setiap brand tidak ingin melewatkan momentum ini untuk melakukan komunikasi kepada audiencenya. Selain dari materi kreatif, budget untuk belanja media pun dipersiapkan lebih tinggi dari biasanya.

Ramadan adalah sebuah festive moment yang tidak disia-siakan oleh berbagai brand untuk all out dalam meraih atensi dari customer serta audience. Strategi komunikasi ini tentu saja diiringi pula dengan strategi lainnya, seperti sales, untuk meraih revenue setinggi-tingginya.

Kenapa ini bisa terjadi? Dan kenapa momen Ramadan yang menjadi pemicunya?

Well, aktivitas brand sebagian besar dipengaruhi oleh perilaku konsumen, dan di momentum Ramadan jelas ada perilaku konsumen yang berubah. Misalnya, di bulan Ramadan ini “jam bangun” audience menjadi lebih tinggi karena aktivitas sahur, yang secara tidak langsung waktu menonton tayangan atau mengonsumsi konten di social media juga lebih tinggi.

Kemudian, pengeluaran konsumen di bulan Ramadan yang terbukti lebih tinggi dibanding dengan bulan-bulan lainnya. Ini dipicu dengan perilaku konsumen yang menganggap buka puasa sebagai momen perayaan kecil setelah seharian berpuasa, yang wajib diganjar dengan berbagai hidangan lebih banyak dari biasanya. Belum lagi momen buka bersama dengan berbagai teman dan kolega yang akan menambah pengeluaran di bulan Ramadan.

Ini sangat ironis mengingat Ramadan yang esensinya lahir dari tradisi keagamaan, maknanya telah bergeser menjadi momen untuk bermewah-mewahan.

Namun, mungkin ini yang membuatnya menjadi unik dan menarik. Dari perspektif lain, kita bisa melihat bahwa Ramadan adalah tentang sebuah keseimbangan.

Makanan yang berlebihan saat berbuka puasa bisa diimbangi dengan berbagi kepada tetangga atau memberi mereka yang membutuhkan.

Bahwa momen berbuka bersama, bukan cuma tentang bermewah-mewahan namun tentang silaturahmi yang kembali terjalin.

Selama kita mengerti esensinya, tidak ada salahnya memaknai kembali Ramadan sesuai dengan berkembangnya zaman.

Selamat menunaikan ibadah puasa.

Sampai minggu depan,-tira-